Tiada hari tanpa bekerja!
Minggu sore yang begitu syahdu. Kala itu saya ada janji bertemu dengan teman lama di kedai kopi yang tidak jauh dari kediaman tempat saya tinggal.
Berdasarkan agenda, kami bertemu untuk sekedar berbincang-bincang, sambil sesekali menyeruput teh oolong yang telah dipesan.
Ya, meski nongkrongnya di kedai kopi, entah kenapa saya tidak begitu doyan meneguk secangkir kopi.
Hal itu dikarenakan lambung saya yang tak begitu berjodoh dengan minuman berkafein tersebut.
Selain lemah terhadap makanan Yoshinoya, sang lambung pun sukar menerima kehadiran kopi, yang tak jarang berakhir dengan mules kepingin buang air besar atau BAB.
Hari itu kami mengobrol santai. Topik yang dibicarakan pun standar, tidak jauh-jauh dari nostalgia masa lalu. Sampai titik dimana kami membahas problematika seputar pekerjaan.
Ya, meski hari libur, teman saya ini (sebut saja Fulan) sembari berkutat dengan laptopnya, mengulik laporan audit untuk segera dikirim keatasannya via email.
Kebetulan Fulan ini bekerja sebagai akuntan publik, yang saban hari berurusan dengan tetek bengek keuangan perusahaan klien.
Tiada hari tanpa bekerja, begitulah kira-kira yang ada dipikiran si Fulan. Mengingatkan saya pada seorang pemimpin yang mottonya ‘Kerja, Kerja, Kerja!’
Sebagai seorang teman, saya turut prihatin. Namun, sebagai sesama budak korporat, saya bisa memaklumi apa yang ia lakukan.
Yah, namanya juga menjemput rezeki, meskipun rekening saya sendiri pun belum kunjung sampai digit 80 juta.
Sesekali Fulan menatap layar laptopnya, jemarinya begitu lihai mengetik. Dahinya sedikit mengernyit.
Sepertinya ia sedang memasukkan rumus excel di lembar kerjanya. Tak jarang, ia kerap juga salah menginput, yang membuatnya jadi mengumpat sendiri.
“ah j*mboot!”
Begitulah, salah satu kata pamungkas ketika ia mulai agak frustasi.
“Oi, napa lu?”, tanya saya penasaran.
“Biasa, gak balance”, jawab Fulan singkat, sambil menghela napas.
Walau berat, nampaknya si Fulan ini dapat memaklumi konsekuensi dari pekerjaannya.
Membuat laporan, tektokan dengan klien, yang acap kali menyita akhir pekannya. Itulah mengapa si Fulan bisa bertahan selama empat tahun di kantor tempat ia bekerja.
Dikala banyak generasi milenial yang gemar pindah-pindah tempat kerja (termasuk saya), si Fulan ini bisa tampil beda.
Tidak peduli dengan tekanan kerja yang dihadapi. Kadang lembur, kadang kena omel atasan, yang penting gaji lancar saban akhir bulan.
“Yaa namanya juga risiko kerja Kals, yang penting sih fokus dan sepenuh hati ngelakuinnya”, ujar Fulan memberi wejangan.
Mendengar pernyataan tersebut, saya pun salut sekaligus takjub, tidak percaya. Salut karena dedikasi Fulan pada perusahaan tempat ia bekerja, meski belum ada ihwal ia untuk naik jabatan.
Tidak percaya karena itu terlontar dari lisan si Fulan, mantan mahasiswa ‘kupu-kupu’ yang hobi tidur siang.
Pernyataan si Fulan tersebut juga sekaligus mengingatkan saya pada sebuah konsep yang bernama ‘Ikigai’, merupakan konsep hidup bahagia ala orang Jepang.
Tak peduli sesusah apa masalah yang dihadapi, yang terpenting lakukan hal tersebut dengan sepenuh hati.
Konsep ikigai inilah yang membuat masyarakat Jepang, terutama di daerah Okinawa memiliki umur yang panjang dan usia harapan tertinggi di dunia.
Karena mereka berbahagia dengan tetap menyibukkan diri. Sama halnya dengan si Fulan, ia tetap menyibukkan diri. Walaupun bahagianya belakangan, yaitu transferan di akhir bulan.
Ya, siapa yang tidak bahagia mendapat kucuran dana. Saya pun juga mengalaminya.
Jika si Fulan menyibukkan diri dengan dunia audit mengauditnya, saya pun juga tidak kalah sibuknya dengan berselancar online.
Kebetulan saya juga bawa laptop sendiri, tetapi tidak untuk sembari tugas negara layaknya si Fulan.
“Akhir pekan ya memang untuk santai,” pikir saya mantap. Berupaya memisahkan kapan waktu untuk bekerja dan kapan waktu untuk ‘leyeh-leyeh’.
Tak terasa hari sudah semakin gelap. Sang surya pun juga berangsur-angsur beranjak dari tempatnya, hanya menyisakan senja.
Waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Menandakan secara halus untuk segera bubaran.
“Udah sore nih Kals, balik yok. Besok mesti ngantor lagi”, bujuk Fulan mengajak pulang.
Kami pun bersiap-siap untuk beranjak dari tempat kongkow kami, mematikan laptop, menggulung kabel chargernya, serta bergegas membayar bill di kasir.
Sembari menunggu antrian membayar, seketika handphone saya berdering. Tampaknya ada notifikasi pesan Whatsapp yang masuk.
Saya pun mengecek apa isi gerangan pesan tersebut, yang isinya berbunyi:
“Kals besok ada meeting, laporan kamu bisa dikirim segera?”
Bagaikan mendapat titah, nampaknya ini adalah sinyal untuk menatap hari esok. Menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan, disisa akhir pekan pula, meskipun perasaan mager masih menyelimuti.
‘j*mboot memang’ tapi yasudahlah.