Tokoh proklamator Indonesia, Soekarno, berpesan untuk tidak melupakan sejarah.
Dengan sejarah, kita bisa belajar dari generasi sebelumnya. Novel Bumi Manusia membuka wawasan kita tentang wajah tanah air sebelum merdeka.
Walaupun dibalut fiksi, pembaca akan merasakan bahwa Indonesia pernah memperjuangkan hak asasi sebagai bangsa yang bermartabat.
Bumi Manusia adalah novel pertama dari Tetralogi Buru yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer.
Buku yang diterbitkan pada tahun 1980 ini sempat dilarang beredar pada masa orde baru.
Tiga puluh Sembilan tahun berlalu, masyarakat tidak perlu lagi bersembunyi untuk menikmati karya Pramoedya Ananta Toer karena Bumi Manusia diadaptasi ke layar lebar secara lebih ringan pada 15 Agustus 2019.
Disutradarai oleh Hanung Bramantyo, film biopik ini memvisualisasikan kisah pemuda jawa terpelajar bernama Minke alias Tirto Adhi Soerjo (Iqbaal Ramadhan) yang mengagumi kemajuan bangsa Eropa.
Namun, pandangannya berubah setelah bertemu Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti) dan putrinya Annelies Mellema (Mawar de Jongh).
Nyai Ontosoroh adalah perempuan pribumi yang tidak mengenyam sekolah formal, tetapi memiliki pemikiran modern dan keberanian melawan kolonialisme; putrinya Annelies ialah perempuan cantik berwajah Eropa yang bangga jika menjadi pribumi.
Minke jatuh cinta pada Annelies dan bersatu dalam ikatan pernikahan yang tidak sah di mata hukum Eropa.
Minke semakin terlibat dalam permasalahan yang dihadapi keluarga Mellema. Sehingga, dia semakin melihat gambaran persoalan sosial di tanah Indies saat itu.
Dia mendapati fakta nyata bahwa pribumi memang terjajah di rumahnya sendiri, feodalisme merajalela, pergundikan dan perbudakan kasatmata, dan hukum belum sepenuhnya menegakkan keadilan.
Ketika bicara sulit didengungkan, Minke menunjukkan kekuatan pikiran lewat tulisan untuk menginspirasi dan menggerakkan orang lain.
Kutipan film Bumi Manusia
Berikut beberapa kutipan inspiratif dari kisah Bumi Manusia:
“Menjadi beradab, tidak melulu lahir dari manusia beradab pula“
Di bumi, manusia ada dengan segala kompleksitasnya. Rasanya kurang bijak jika menilai seseorang hanya dari luarnya saja.
Dengan goresan pena, Minke mencatat bahwa Eropa, Pribumi, Indo, ataupun asli bukan jaminan untuk bisa berlaku adil, baik pikiran maupun perbuatan.
Tidak semua eropa berkulit putih yang unggul dalam perkembangan sains dapat berperikemanusiaan.
Tidak semua pribumi yang bernasib selir tak punya kemampuan intelektual seperti yang digambarkan pada karakter Sanikem alis Nyai Ontosoroh.
Perempuan tegar ini sukses mengelola bisnis pertanian dan peternakan keluarganya disaat suami Eropanya sibuk mabuk di rumah bordil. Eropa gila sama saja dengan pribumi gila.
Walaupun lahir dari keluarga yang termarginalkan dan ayah yang tak berakhlak karena menjual dirinya demi uang dan jabatan, dia berkarisma dan terhormat atas pandangan dan keberaniannya.
“Seorang yang terpelajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”
Kutipan ini sudah sering sekali didengungkan. Kalimat tersebut disampaikan oleh Jean Marais saat Minke mencurahkan perasaannya bahwa dia curiga diguna-guna oleh Nyai Ontosoroh.
Sebelum hipotesis terbukti, manusia (terlebih yang telah mengenyam pendidikan) sepatutnya berpendapat adil dengan tidak melakukan generalisasi dan diskriminasi baik dalam bentuk pikiran maupun diekspresikan dalam tindakan.
Hanya karena label masyarakat, belum tentu sosok gundik selalu berpikir kolot dan keji dengan mengandalkan mantra sihir.
Hanya karena berdarah pribumi, belum tentu dia melakukan praktik tradisional yang irasional akibat stigma kaum Non-Eropa tak melek kemajuan peradaban.
Di tengah keberagaman di bumi, mereka yang berwawasan semestinya bijak dalam menilai, mengedepankan obyektivitas, dan tidak terjebak dalam fenomena fallacy.
“Hidup bisa memberi segala kepada semua yang mau mencari tahu dan pandai menerima”
Ucapan Nyai Ontosoroh ini dapat menjadi motivasi untuk tidak berkecil hati, meskipun kesempatan sekolah belum terealisasi.
Kehidupan ini adalah institusi pendidikan informal yang abadi. Kita bisa belajar dari siapa pun, dimana pun, kapan pun, dan dalam keadaan apapun jika kita jernih melihat peluangnya.
Walaupun Sanikem tidak sekolah, bukan berarti tidak belajar. Tak mau hanya terpaksa berperan sebagai gundik, dia menyerap ilmu dengan mempelajari pengelolaan bisnis Herman Mellema.
Tidak bermalas-malasan menikmati harta yang ada, dia bekerja keras mengembangkan usaha keluarga.
Tak heran jika Minke menaruh hormat pada kepribadian Nyai di Boerderij Buitenzorg, Wonokromo tersebut.
Kutipan ini juga mengingatkan kaum bergelar untuk tidak terlalu berbangga diri.
Profesor belum tentu lebih hebat dari mereka yang tak beruntung untuk bisa menikmati ruang kelas.
Perjuangan hidup bisa jadi memberikan mereka pengetahuan dan pengalaman yang lebih bermakna dari sekedar textbook belaka.
“Kamu memang pintar, tapi jangan merendahkan orang yang kamu anggap tidak mengerti semua perkara yang kamu pahami. Berani mengalah itu besar balasannya”
Pesan ibu Minke ini sangat relevan di dunia yang penuh dengan jiwa-jiwa merasa benar.
Rendah hati adalah kualitas persona sesorang yang tidak bisa instan dipelajari, tetapi diperoleh melalui perjalanan menemukan bahwa segala upaya manusia akhirnya ditentukan oleh Kebesaran Sang Pencipta, bukan kehebatannya.
Rendah hati dimiliki oleh orang-orang yang peka terhadap sekelilingnya. Mereka menyadari setiap insan ditempa dengan cara yang berbeda-beda sehingga menghasilkan cara pandang yang bervariasi.
Seperti manusia lainnya, pasti ada perihal yang dipahami; ada pula perkara yang tak dimengerti.
No need to feel superior to others; menganggap orang lain yang tidak tahu apa yang kita ketahui berarti mereka tidak kece seperti kita adalah kesombongan.
Pintar saja tidak cukup di bumi yang berwarna ini karena semesta membutuhkan nurani yang mampu mengendalikan emosi disaat menghadapi situasi yang bertentangan dengan harapan dan pandangan.
Ingatlah, tidak semua orang sama dengan diri kita, itulah realita kehidupan. Mengalah bukan berarti kalah. Ada saatnya kita mengalah sebagai langkah arif meredam kerumitan masalah.
“Berbahagialah dia yang makan dari hasil keringatnya sendiri“
Kata-kata ini disampaikan Nyai Ontosoroh pada Minke yang sedang menekuni usaha mebel.
Siapapun yang mencari rezeki dengan pikiran dan tenaganya akan berbahagia. Sesederhana: lulus ujian karena menyontek atau menyogok pihak berwenang.
Hmmm, rasanya dijamin tidak senikmat jerih payah sendiri. Mereka yang menikmati proses akan bersuka cita ketika mendapatkan hasil.
Orang yang meraih keberhasilan dengan cara yang baik tentu diberikan suasana batin yang berbeda dengan mereka yang memilih cara instan, menghalalkan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), atau berlaku tidak layak pada manusia lain.
Langgam yang tercela bisa jadi membawa kita mencapai tujuan, tetapi tidak akan menerima keberkahan.
Misal, materi berlimpah yang didapatkan dengan cara merampas hak orang lain tidak akan memberikan tambahan kebaikan, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan, harta, anak, usia, termasuk perasaan bahagia setelah memperolehnya.
“Saya hanya ingin menjadi manusia bebas. Tidak diperintah dan tidak juga memerintah. Dan dunia saya bukan upah, jabatan, pangkat, atau kecurangan. Dunia saya, Bumi Manusia dengan segala persoalannya”
Merdeka adalah anugrah. Bebas dari perbudakan dan penjajahan, mampu berdiri sendiri, dan tidak bergantung pada bangsa lain adalah dambaan generasi terdahulu yang kini patut kita syukuri.
Tokoh Minke adalah refleksi bahwa di dunia ini ada segelintir pribadi yang enggan takluk pada uang, kemewahan, jabatan, pangkat, dan ketidakadilan.
Sosok berani terasingkan disaat dirinya berpeluang menjadi priyayi. Jiwa yang berintegritas, berprinsip teguh, kritis, dan tak terpengaruh arus.
Tidak ada yang lebih bahagia dari menjadi versi terbaik diri sendiri. Bebas bersuara dengan etika tanpa disetir kepentingan adalah nikmat yang banyak orang tidak sadari. Setiap individu pasti ingin hidup berdaya dan tidak membebani.
Walaupun bebas, tetap harus memahami batas sebab ada saat dimana manusia harus menghargai perbedaan, mengendalikan ego, dan mematuhi aturan yang dibuat untuk kemaslahatan bersama. Sudahkan kita menjadi manusia bebas saat ini?