Jika sudah membaca Novel Andrea Hirata yang berjudul Orang-Orang Biasa (2019), pasti sudah mengenal adanya Tokoh Aini: anak dari salah satu anggota geng bangku belakang, Mardinah binti Mardikah.
Judul Buku | : Guru Aini |
Penulis | : Andrea Hirata |
Penerbit | : Bentang Pustaka |
Edisi | : Cet. 3, Juli 2021 |
ISBN | : 978-602-291-686-4 |
Halaman | : 306 halaman |
Dinah adalah si pelopor pengunduran diri dari sekolah tanpa dilandasi tekanan dari siapapun, kecuali tekanan ekonomi dan diri sendiri yang hilang asa terhadap kemampuan akademis.
Tak berbeda jauh dengan Ibunya, Aini tergolong siswa yang sulit diprediksi kontribusinya di masa yang akan datang karena nilai rapor yang merah meriah, terutama matematika.
Siapa sangka, anak Melayu Ketumbi di Kabupaten Pulau Tanjong Hampar itu bertransformasi menjadi calon mahasiswa Fakultas Kedokteran. Kok bisa?
Pada Tahun 2020, lahir prekuel dari Orang-Orang Biasa yang berjudul Guru Aini. Penulis menceritakan mengapa dan bagaimana Aini mendadak antusias belajar.
Kadang, dalam hidup ini perlu ada momentum yang diberikan Tuhan agar manusia mau berubah.
Pada kisah Aini, rasa cinta yang besar terhadap ayahnya yang jatuh sakit dan ingin mengetahui apa yang terjadi pada ayahnya sehingga dapat mengobati penyakit tersebut telah mendorongnya untuk mengakui kebodohan dan kemalasan adalah syarat utama untuk tetap miskin dan menyaksikan ayahnya menderita terbaring.
Selain faktor internal berupa keinginan dan keyakinan diri, ada faktor eksternal yang berjasa dalam perkembangan dirinya. Aini tidak akan pernah lupa pada sosok guru bernama Desi Istiqomah.
Sebagai pendidik profesional, guru bukan hanya bertugas mengajarkan ilmu, melainkan juga menanamkan nilai dan perilaku yang baik kepada peserta didik.
Beberapa hal yang patut diteladani dari guru tersebut, yaitu:
Daftar Isi
1. Kompeten dan berintegritas
Desi mendapatkan predikat guru matematika yang brilian, tidak hanya di Ketumbi, tetapi juga tingkat Kabupaten bahkan dinominasikan untuk tingkat Provinsi.
Namun, ia menolak penghargaan tersebut lantaran minat peserta didik yang rendah terhadap matematika; tercermin dari rata-rata nilai ulangan, yakni dibawah 6.
Bukan seperti Bu Afifah dan Pak Syaifulloh yang dijadikan guru matematika oleh Kepala Sekolah akibat kurangnya guru yang berkenan mengajar mata pelajaran ini, Desi adalah guru yang tersertifikasi atas kecintaan dan upayanya dalam memahami matematika.
Namun, sebagai pendidik, Desi disegani bukan hanya karena kompetensi yang dimilikinya, melainkan juga integritas yang ia junjung tinggi. Ia adalah perempuan yang mengedepankan kejujuran serta konsisten dalam menerapkan prinsip dan nilai moral yang diyakininya.
Guru Aini ini tidak suka muridnya menyontek. Baginya, tindakan ini adalah bentuk kecurangan dan ketidakjujuran.
“Apa jadinya bangsa ini kalau pelajarnya saja curang?” tutur guru eksentrik tersebut.
Dari hal sekecil mengerjakan kewajiban berupa tugas sekolah saja suka mencari kemudahan atau jalan instan agar berhasil, apalagi jika diberikan amanah yang lebih besar di kemudian hari.
Demikian pentingnya peran guru dalam menanamkan karakter pada murid sebagai manusia yang akan tumbuh dengan segala bentuk kompleksitas pilihan dewasa nanti.
2. Tulus dan Tidak Mengharapkan Validasi
Demi obsesinya untuk menjadi guru matematika yang tidak menjanjikan perjalanan karir dengan hidup yang nyaman, Desi rela menggendong backpack besar yang berat dengan menguji nyali melewati perjalanan darat nan jauh dan menyebrang pulau ditemani gempuran ombak.
Semua itu dilaluinya karena panggilan hati. Baginya, Indonesia kekurangan guru matematika, terutama di kampung.
Desi mengajar bukan untuk mengejar penghargaan atau validasi orang lain, melainkan dampak yang ia berikan.
Dia tak ingin pendidikan matematika di Kampung Ketumbi tak ada bedanya dengan atau tanpa dirinya yang sudah mendapatkan beasiswa dari negara sebagai guru. Desi melakukannya dengan tulus dari hati.
Desi berpandangan bahwa the impact of a great teacher can never be erased; his/her legacy is forever.
Seperti gurunya, Ibu Marlis, yang menginspirasi dirinya untuk menyalakan harapan dan keinginan untuk belajar serta mengejar impian.
Desi adalah satu dari sekian manusia di bumi yang ingin melihat perubahan dan kemajuan. Pendidikan di negeri ini harus merata dan bisa diakses oleh siapa saja, dimana saja.
Ketulusan Desi juga terlihat ketika dia menolong Aini dalam diam dengan memberikan backpack besar miliknya dan menyelipkan amplop berisi uang di salah satu saku untuk keperluannya mengikuti ujian masuk Fakultas Kedokteran di kota.
Itulah kebahagiaan terbesar seorang guru: menyaksikan anak didiknya berhasil menjadi lebih baik.
3. Berupaya Melakukan Perbaikan
Seorang guru pun harus terus menerus belajar. Tidak hanya dari buku, para ahli, profesor, atau orang hebat lainnya, tetapi juga dari muridnya sendiri.
“Everyone has something to teach you if you are humble enough to learn.” – Mark Driscoll.
Sempat hilang semangat dalam mengajar sebab kehilangan anak muda cerdas yang menyia-nyiakan kemampuannya, pengalaman dengan Aini mengembalikan pribadi Desi yang selalu mendekati murid, membimbing, serta membesarkan hatinya satu per satu.
Desi percaya kemampuan matematika tidak dilahirkan, tetapi dapat dibentuk. Desi meyakini setiap anak itu unik dan tidak bisa disamaratakan.
Ia terus berupaya melakukan perbaikan dalam menyampaikan materi yang ia ajarkan dengan pendekatan tertentu.
Desi menyadari setiap murid mengerti dengan cara yang berbeda.
“Kecerdasan itu misterius.. guru yang baik adalah guru yang dapat memacu kecerdasan muridnya. Guru yang lebih baik adalah guru yang dapat menemukan kecerdasan muridnya. Guru terbaik adalah guru yang tidak kenal lelah mencari cara agar muridnya mengerti – Hal. 168.
Like someone said, “Every child is gifted; they just unwrap their packages at different times”.
4. Idealis dan Memiliki Tujuan yang Jelas
“Umumnya, idealisme anak muda yang baru tamat dari perguruan tinggi bertahan paling lama 4 bulan. Setelah itu, mereka akan menjadi pengeluh, penggerutu, penyalah, seperti banyak orang lainnya.” – Andrea Hirata, Hal. 41.
Begitulah Penulis menyelipkan kritik sosial dalam novel ini. Akan tetapi, tidak begitu dengan Desi yang tetap Istiqomah seperti namanya.
Berkesempatan memilih jurusan yang diidolakan banyak murid sepantarannya, Desi tetap berpendirian teguh mengikuti kata hatinya untuk menjadi guru.
Ia pun ikhlas melepaskan keistimewaan yang diberikan kepada dirinya sebagai lulusan terbaik untuk memilih lokasi mengajar dengan bertukar lokasi di daerah pelosok pulau milik kawannya.
Desi bertekad mengajar matematika pada anak-anak kampung dan menemukan satu anak kampung berbakat untuk dibimbing menjadi jenius matematika agar memberikan multiplier effect pada anak kampung lainnya sehingga termotivasi untuk berprestasi, baik di bidang matematika atau di bidang lain sesuai kemampuannya.
Desi ingin pendidikan akademis tidak hanya dinikmati mereka yang ada di kota besar. Perempuan ini tidak sedikitpun goyah dan mengubah tujuan hidup yang menjadi cita-citanya.
Bagi Desi: “..Tanpa idealisme, aku akan lebih lelah. Tanpa idalisme, orang akan hidup menipu diri sendiri, dan tak ada yang lebih lelah dari hidup menipu diri sendiri.” – Hal. 61.
Ya, sometimes, life without idealism is empty.