Pengalaman ikut sidang di Pengadilan.
Pernah ikut sidang? kalau kalian pernah menempuh pendidikan perguruan tinggi, mengikuti sidang merupakan suatu hal yang familiar dan merupakan syarat kelulusan mahasiswa.
Atau jika kalian pernah melanggar lalu lintas, kemudian kena tilang, mau gak mau wajib mengikuti agenda sidang.
Tapi bukan sidang skripsi ataupun sidang tilang yang mau saya bahas. Melainkan sidang di pengadilan dalam rangka menjadi saksi dalam suatu kasus. Waduuh!
Musim hujan tahun masehi merupakan momen bahagia saya. Betapa tidak, selang berapa bulan pasca wisuda, saya langsung mendapatkan pekerjaan pertama saya.
Kala itu status saya sebagai fresh graduate. Sebagai gambaran, tempat saya bekerja merupakan perusahaan skala kecil.
Jadi karyawan yang bekerja disana tidaklah banyak. Gak sampai 10 orang. Tempat tersebut dipimpin oleh seorang repesentative sebagai manager disana. Sebut saja Mr Don (bukan nama sebenarnya).
Mr Don ini bisa dikatakan seorang pria paruh baya yang usianya kira-kira sudah menginjak kepala lima. Perawakanya yang sangar bak debt collector membuat saya, first impression, gak percaya bahwa doi ini benar-benar seorang manager.
Selama bekerja disana, yang saya notice darinya merupakan tipikal orang yang perfeksionis, tempramen, dan strik dengan suatu hal (Co : uang).
Pokoknya kalau sudah berhadapan dengan Mr Don ini, bisa bikin orang jiper duluan. Pernah suatu ketika rekan kerja saya, mba Lyla; menjadi bulan-bulanan beliau.
“Ini kok masih banyak yang belum lunas ya?” tanya Mr Don geram.
“Iya pak, mereka minta pembayaranya diangsur”
“POKOKNYA SAYA TIDAK MAU TAHU, HARI INI JUGA KAMU TELPON DAN TAGIH INI PEMBAYARAN, SAYA TUNGGU LAPORANYA!”
“Ba…..baik pak” jawab mba Lyla ciut.
Sontak hari itu saya dan mba Lyla ketetaran untuk nagih pembayaran. Pembawaan Mr Don yang keras dan meledak-ledak membuat turn over di tempat itu sangat cepat sekali. Kebanyakan dari mereka hanya bertahan tidak sampai satu tahun, termasuk saya.
Bahkan saking kerasnya barangnya sifatnya Mr Don, beliau pernah sampai berurusan dengan polisi hingga ke pengadilan.
Penyebabnya karena ia diduga menganiaya salah satu staf senior disana, sebut saja Mr Jay. Berawal dari cekcok adu mulut didepan meja frontdesk yang berujung malapetaka bagi Mr Jay.
Usut punya usut, mereka ribut karena permasalahan pembayaran gaji yang tidak sesuai kesepakatan (as I know).
Mr Jay tidak terima dan mengajukan protes keras kepada Mr Don. Karena sama-sama ngotot, naas bagi Mr Jay, bukanya mendapat solusi, ia malah harus menerima tinju no jutsu dari Mr Don tepat mengenai wajahnya.
Sialnya, saya waktu itu berada di TPU TKP mendapati muka Mr Jay yang sudah benjud usai dihajar Mr Don.
Imbasnya, masalah tersebut jadi berkepanjangan. Mr Don dilaporkan ke polres atas dugaan penganiayaan. Mau engga mau, saya juga ikut-ikutan terseret dalam kasusnya Mr Don.
Berasa terkena serangan fajar, sulit bagi saya waktu itu menerima kenyataan bahwa saya akan berurusan dengan hukum. Andai saja waktu itu saya tidak berada di TKP, mungkin akan lain ceritanya.
“Ah, nasib bener diriku ini”, gerutu saya dalam hati. Baru 2 bulan kerja disana sudah tertimpa masalah. Ekspetasi saya untuk tempat itu memudar sudah. Seolah-olah saya terjebak disana dan karir saya terancam madesu.
Selang beberapa minggu kemudian sejak peristiwa baku hantam tersebut, seseorang mendatangi kantor untuk mengantarkan surat.
“Permisi” sapa orang itu. Saya yang kebetulan ada di meja frontdesk menyambitnya menyambutnya dengan ramah.
“Ya pak, ada yang bisa dibantu?”
“Bisa bertemu dengan dengan pak ***(saya sendiri maksudnya)”
“Ya, saya dengan *** ada apa ya pak?”, tanya saya.
“Ini pak mau antar surat untuk pak *** untuk ketersediaanya diperiksa di Jatanras Polres kota X sebagai saksi untuk kasusnya pak cquakxxss*sensor (Mr Don maksudnya).”
JREENG JREENG…..panggilan pemeriksaan. Seperti yang dikhawatirkan sebelumnya, saya ikut terseret dalam kasusnya Mr Don.
Namun kabar baiknya, orang yang barusan mengantar surat cinta tersebut ialah penyidiknya langsung yang mau repot-repot datang ke kantor dari Polres Kota X demi memberikan info yang berfaedah.
Sehingga ibu-ibu yang lagi duduk di ruang tunggu dekat meja frontdesk memperhatikan kami dengan tatapan heran.
“Siapa yang ketangkep dek?” tanya ibu itu penasaran. Usai si penyidik itu pergi.
“errrrm…..Engga bu, anuu….itu kemaren ada tukang cuanki depan kantor berantem,” jawab saya sekenanya (lebih tepatnya sih ngibul).
“ouuh…kok itu dapet surat?”
“Iya bu, ini maksudnya buat orangnya, titip ke saya ehehee”
Begitu ada kesempatan, saya langsung mencoba mengakhiri percakapan. “Maaf bu, saya tinggal sebentar ya, mau ke atas,” sanggah saya sambil bergegas pergi ke lantai 2, menghindar, agar tidak ditanya lebih jauh.
Phew……hampir saja.